Inkonsistensi Malaysia dan melunaknya Bapepam
oleh : M. Munir Haikal & Wisnu Wijaya
Meski inkonsistensi keputusan Bank Negara Malaysia bisa meruntuhkan bursa saham Indonesia, Bapepam-LK tetap menunjukkan kebesaran hatinya. Tentu saja ini demi pemodal publik.
Tak ada angin tak ada hujan, Bank Negara Malaysia (BNM) pada 29 Juli mengambil keputusan yang menyesakkan dada pemodal publik yang mempunyai posisi atas saham PT Bank Internasional Indonesia Tbk (BII).
BNM mencabut persetujuannya atas rencana Malayan Banking Berhad (Maybank) membeli seluruh saham BII senilai total US$2,7 miliar atau setara Rp24,57 triliun atau Rp510 per saham, padahal BNM mengeluarkan persetujuan akuisisi itu lima bulan lalu.
Tak hanya BNM yang melakukan tindakan inkonsisten, Maybank pun ikut-ikutan menyatakan tidak bisa menutup rencana akuisisi 55,6% saham BII, padahal beberapa hari sebelumnya Maybank masih berkomitmen terhadap transaksi itu dan mencari cara menuntaskan akuisisi BII pada akhir September 2008.
Secara kasat mata, pemodal publik yang kini memiliki 44% saham BII berpotensi menderita kerugian Rp4,84 triliun jika Maybank membatalkam penawaran tender terhadap seluruh saham BII yang dimiliki oleh investor publik. Tanpa restu Bank Negara Malaysia, Maybank tidak bisa menutup pembelian saham BII.
Berdasarkan riset dari Deutsche Bank yang dirilis pada 31 Juli, nilai fundamental saham BII hanya Rp285 per saham. Berarti, jika penawaran tender saham BII, pada harga Rp510, batal dilaksanakan, pemegang saham berpotensi rugi Rp225.
Jika dikalikan dengan jumlah 44% saham atau 21,53 miliar saham yang dimiliki oleh publik, berarti investor berpotensi rugi Rp4,84 triliun. Itu kerugian yang fantastis besarnya.
“Kalau itu dibatalkan, banyak yang akan dirugikan. Kasus itu menjadi preseden buruk yang bisa menghancurkan pasar modal kita,” ujar Ketua Masyarakat Investor Sekuritas Indonesia N.D. Murdani belum lama ini.
Untungnya, Bursa Efek Indonesia sejak 31 Juli menghentikan sementara perdagangan saham BII. Bila tidak dihentikan, saham BII akan terjungkal.
Maybank juga terancam kehilangan uang deposit US$147 juta atau setara Rp1,33 triliun jika akuisisi BII gagal. Menurut riset Merrill Lynch, ongkos kerugian itu cukup kecil dibandingkan dengan kerugian ketika mengakuisisi BII.
Belakangan muncul informasi Maybank bisa rugi hingga US$1 miliar atau setara Rp9,1 triliun jika melanjutkan akuisisi BII. Angka itu masuk akal karena Maybank kemungkinan besar tidak bisa menjual saham BII di atas Rp510 pada 2010.
Berdasarkan riset mengenai BII yang dirilis Danareksa Sekuritas disebutkan price to book value (PBV) BII pada 2010 hanya tiga kali, sedangkan CLSA memprediksi PBV BII pada 2010 hanya 3,2 kali. Itu berarti Maybank akan kesulitan menjual saham BII pada PBV di atas 4,7 kali.
Sejak awal Maybank mengumumkan pembelian 55,6% saham BII senilai US$1,5 miliar atau Rp510 per saham lima bulan lalu, banyak kalangan termasuk parlemen dan analis di Malaysia yang mengatakan harga akuisisi itu terlalu mahal.
Wajar jika disebut demikian karena harga akuisisi itu mencerminkan 4,7 kali nilai buku BII per Desember 2007 sebesar Rp109,8 per saham.
“Bagaimana bisa Maybank membayar saham BII 4,7 kali nilai buku? Mereka kan melakukan due diligence?” kata satu analis dari broker asing.
Tindakan politis
Jika harga menjadi alasan yang sebenarnya, berarti pencabutan persetujuan akuisisi itu merupakan tindakan politis semata-mata untuk menyelamatkan bank BUMN Malaysia itu dari kerugian besar.
“Banyak pihak yang melihat langkah itu [pencabutan persetujuan] sebagai strategi untuk mundur yang diatur oleh Bank Negara. Hal itu [akuisisi BII] merupakan keputusan manajemen, BNM tidak pada posisi menyetujui atau tidak menyetujui,” ujar Gerald Ambrose, manajer investasi Aberdeen Asset Management, di Kuala Lumpur, seperti dikutip Bloomberg, belum lama ini.
Namun, BNM menggunakan alasan aturan baru Badan Pengawas Pasar Modal & Lembaga Keuangan yang mewajibkan emiten melepas 20% saham ke publik dalam dua tahun setelah penawaran tender bisa menimbulkan kerugian.
Mustahil transaksi sebesar ini tidak dikonfirmasikan terlebih dulu oleh Maybank kepada Bank Indonesia, Bank Negara Malaysia, dan Bapepam-LK.
Bisa jadi aturan baru Bapepam-LK itu merupakan cara untuk menekan otoritas pengawas pasar modal Indonesia itu untuk mengabulkan pengecualian yang diminta oleh Maybank, yaitu tanpa melepas lagi 20% saham BII ke publik.
“Bapepam-LK telanjur mengatakan tidak ada pengecualian untuk transaksi BII. Kalau tiba-tiba ada pengecualian, itu kan menurunkan wibawa Bapepam-LK,” ujar analis itu.
Salah satu alasan yang sangat masuk akal adalah Maybank tak mau rugi besar. Kalau rugi besar, tentu parlemen di Malaysia akan ribut.
Keputusan Bank Negara Malaysia tak hanya merugikan pemegang saham publik BII, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran terhadap rencana penawaran tender saham lain, sehingga peta spekulasi terhadap saham yang berpotensi tender offer akan berubah.
“Investor khawatir penawaran tender tiba-tiba batal dengan menggunakan berbagai alasan seperti yang terjadi pada tender offer saham BII.”
Pilihan
Bank of China yang dikabarkan sedang uji tuntas terhadap Bank Panin, kini mempunyai pilihan, yaitu BII. Selain memberikan pilihan bagi Bank of China, ada empat kemungkinan lainnya yang bisa terjadi dalam jual beli saham BII ini. Pertama, Maybank bisa saja melanjutkan akuisisi BII dengan menegosiasi ulang harga dengan Temasek dan meminta pengecualian kepada Bapepam-LK dengan rentang waktu yang lebih lama.
Kedua, akuisisi batal dan kemudian Temasek menawarkan BII kepada investor strategis lain. Ketiga, BII dimerger dengan Bank Danamon yang juga dimiliki oleh Temasek. Keempat, BII dilepas ke mitra strategis Temasek Holding di BII yaitu Kookmin Bank.
Terlepas dari beberapa kemungkinan itu, Bapepam-LK terlihat melunak terhadap BNM dan Maybank. Tentu hal itu dilakukan demi melindungi pemodal publik dari kerugian yang besar. (munir.haikal@bisnis.co.id/wisnu.wijaya@bisnis.co.id)