Posted by: eklip | August 7, 2008

Inkonsistensi Malaysia dan melunaknya Bapepam

Inkonsistensi Malaysia dan melunaknya Bapepam

oleh : M. Munir Haikal & Wisnu Wijaya

Meski inkonsistensi keputusan Bank Negara Malaysia bisa meruntuhkan bursa saham Indonesia, Bapepam-LK tetap menunjukkan kebesaran hatinya. Tentu saja ini demi pemodal publik.

Tak ada angin tak ada hujan, Bank Negara Malaysia (BNM) pada 29 Juli mengambil keputusan yang menyesakkan dada pemodal publik yang mempunyai posisi atas saham PT Bank Internasional Indonesia Tbk (BII).

BNM mencabut persetujuannya atas rencana Malayan Banking Berhad (Maybank) membeli seluruh saham BII senilai total US$2,7 miliar atau setara Rp24,57 triliun atau Rp510 per saham, padahal BNM mengeluarkan persetujuan akuisisi itu lima bulan lalu.

Tak hanya BNM yang melakukan tindakan inkonsisten, Maybank pun ikut-ikutan menyatakan tidak bisa menutup rencana akuisisi 55,6% saham BII, padahal beberapa hari sebelumnya Maybank masih berkomitmen terhadap transaksi itu dan mencari cara menuntaskan akuisisi BII pada akhir September 2008.

Secara kasat mata, pemodal publik yang kini memiliki 44% saham BII berpotensi menderita kerugian Rp4,84 triliun jika Maybank membatalkam penawaran tender terhadap seluruh saham BII yang dimiliki oleh investor publik. Tanpa restu Bank Negara Malaysia, Maybank tidak bisa menutup pembelian saham BII.

Berdasarkan riset dari Deutsche Bank yang dirilis pada 31 Juli, nilai fundamental saham BII hanya Rp285 per saham. Berarti, jika penawaran tender saham BII, pada harga Rp510, batal dilaksanakan, pemegang saham berpotensi rugi Rp225.

Jika dikalikan dengan jumlah 44% saham atau 21,53 miliar saham yang dimiliki oleh publik, berarti investor berpotensi rugi Rp4,84 triliun. Itu kerugian yang fantastis besarnya.

“Kalau itu dibatalkan, banyak yang akan dirugikan. Kasus itu menjadi preseden buruk yang bisa menghancurkan pasar modal kita,” ujar Ketua Masyarakat Investor Sekuritas Indonesia N.D. Murdani belum lama ini.

Untungnya, Bursa Efek Indonesia sejak 31 Juli menghentikan sementara perdagangan saham BII. Bila tidak dihentikan, saham BII akan terjungkal.

Maybank juga terancam kehilangan uang deposit US$147 juta atau setara Rp1,33 triliun jika akuisisi BII gagal. Menurut riset Merrill Lynch, ongkos kerugian itu cukup kecil dibandingkan dengan kerugian ketika mengakuisisi BII.

Belakangan muncul informasi Maybank bisa rugi hingga US$1 miliar atau setara Rp9,1 triliun jika melanjutkan akuisisi BII. Angka itu masuk akal karena Maybank kemungkinan besar tidak bisa menjual saham BII di atas Rp510 pada 2010.

Berdasarkan riset mengenai BII yang dirilis Danareksa Sekuritas disebutkan price to book value (PBV) BII pada 2010 hanya tiga kali, sedangkan CLSA memprediksi PBV BII pada 2010 hanya 3,2 kali. Itu berarti Maybank akan kesulitan menjual saham BII pada PBV di atas 4,7 kali.

Sejak awal Maybank mengumumkan pembelian 55,6% saham BII senilai US$1,5 miliar atau Rp510 per saham lima bulan lalu, banyak kalangan termasuk parlemen dan analis di Malaysia yang mengatakan harga akuisisi itu terlalu mahal.

Wajar jika disebut demikian karena harga akuisisi itu mencerminkan 4,7 kali nilai buku BII per Desember 2007 sebesar Rp109,8 per saham.

“Bagaimana bisa Maybank membayar saham BII 4,7 kali nilai buku? Mereka kan melakukan due diligence?” kata satu analis dari broker asing.

Tindakan politis

Jika harga menjadi alasan yang sebenarnya, berarti pencabutan persetujuan akuisisi itu merupakan tindakan politis semata-mata untuk menyelamatkan bank BUMN Malaysia itu dari kerugian besar.

“Banyak pihak yang melihat langkah itu [pencabutan persetujuan] sebagai strategi untuk mundur yang diatur oleh Bank Negara. Hal itu [akuisisi BII] merupakan keputusan manajemen, BNM tidak pada posisi menyetujui atau tidak menyetujui,” ujar Gerald Ambrose, manajer investasi Aberdeen Asset Management, di Kuala Lumpur, seperti dikutip Bloomberg, belum lama ini.

Namun, BNM menggunakan alasan aturan baru Badan Pengawas Pasar Modal & Lembaga Keuangan yang mewajibkan emiten melepas 20% saham ke publik dalam dua tahun setelah penawaran tender bisa menimbulkan kerugian.

Mustahil transaksi sebesar ini tidak dikonfirmasikan terlebih dulu oleh Maybank kepada Bank Indonesia, Bank Negara Malaysia, dan Bapepam-LK.

Bisa jadi aturan baru Bapepam-LK itu merupakan cara untuk menekan otoritas pengawas pasar modal Indonesia itu untuk mengabulkan pengecualian yang diminta oleh Maybank, yaitu tanpa melepas lagi 20% saham BII ke publik.

“Bapepam-LK telanjur mengatakan tidak ada pengecualian untuk transaksi BII. Kalau tiba-tiba ada pengecualian, itu kan menurunkan wibawa Bapepam-LK,” ujar analis itu.

Salah satu alasan yang sangat masuk akal adalah Maybank tak mau rugi besar. Kalau rugi besar, tentu parlemen di Malaysia akan ribut.

Keputusan Bank Negara Malaysia tak hanya merugikan pemegang saham publik BII, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran terhadap rencana penawaran tender saham lain, sehingga peta spekulasi terhadap saham yang berpotensi tender offer akan berubah.

“Investor khawatir penawaran tender tiba-tiba batal dengan menggunakan berbagai alasan seperti yang terjadi pada tender offer saham BII.”

Pilihan

Bank of China yang dikabarkan sedang uji tuntas terhadap Bank Panin, kini mempunyai pilihan, yaitu BII. Selain memberikan pilihan bagi Bank of China, ada empat kemungkinan lainnya yang bisa terjadi dalam jual beli saham BII ini. Pertama, Maybank bisa saja melanjutkan akuisisi BII dengan menegosiasi ulang harga dengan Temasek dan meminta pengecualian kepada Bapepam-LK dengan rentang waktu yang lebih lama.

Kedua, akuisisi batal dan kemudian Temasek menawarkan BII kepada investor strategis lain. Ketiga, BII dimerger dengan Bank Danamon yang juga dimiliki oleh Temasek. Keempat, BII dilepas ke mitra strategis Temasek Holding di BII yaitu Kookmin Bank.

Terlepas dari beberapa kemungkinan itu, Bapepam-LK terlihat melunak terhadap BNM dan Maybank. Tentu hal itu dilakukan demi melindungi pemodal publik dari kerugian yang besar. (munir.haikal@bisnis.co.id/wisnu.wijaya@bisnis.co.id)

Posted by: eklip | August 7, 2008

BI waspadai tekanan inflasi eksternal

BI waspadai tekanan inflasi eksternal

oleh : Hendri T. Asworo

JAKARTA (Bisnis.com): Bank Indonesia mewaspadai kemungkinan tekanan inflasi dari faktor eksternal mengingat pada Juli masih tinggi, padahal dampak kenaikan harga BBM seharusnya berakhir dua bulan lalu.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Boediono mengatakan seharusnya setelah dua bulan kenaikan harga BBM mestinya ada pembalikan gejolak inflasi, tetapi yang terjadi adalah angka inflasi masih tinggi.

“Kami akan pantau dari bulan ke bulan dan minggu ke minggu, tapi intinya kami melihat sekarang pembalikannya belum datang. Mestinya harus membalik pada bulan kedua setelah kenaikan harga BBM, tapi nampaknya masih ada faktor eksternal yang masih harus kita waspadai,” ujarnya di Jakarta, hari ini.

Menurut dia, masih tingginya inflasi pada Juli karena pengaruh di luar kenaikan harga BBM. Namun, lanjutnya, jaminan kelancaran arus barang yang mempengaruhi pasok harus tetap diperhatikan.

“Tampaknya ada faktor lain di luar BBM, tapi intinya kelancaran arus barang itu sangat penting,” ujarnya.

Kedua, kata dia, yang harus diwaspadai adalah dari sisi moneter agar dampak inflasi tidak berkepanjangan, tetapi Boediono tidak menyebutkan kebijakan apa yang harus ditempuh.

“Dari segi moneter kita harus waspada supaya dampaknya tidak berkepanjangan,” jelasnya.

Dia berkeyakinan pada 2009 Bank Indonesia dapat menarik inflasi pada angka single digit, meskipun inflasi Januari – Juli sudah 8,85%. “Kami masih sangat-sangat yakin ini bisa kami tarik ke bawah pada 2009 ke single digit. Kami akan pakai alat-alat kami semuanya.”

Boediono memprediksikan pada bulan-bulan mendatang akan ada pembalikan ekspektasi inflasi. “Untuk bulan ini memang belum kelihatan, untuk ke depan saya rasa bisa kita lihat lagi,” tambahnya. (er)

Posted by: eklip | August 7, 2008

Kenaikan BI rate diyakini tak ganggu ekonomi

Kenaikan BI rate diyakini tak ganggu ekonomi

oleh : Hendri T. Asworo & Fajar Sidik

JAKARTA (Bisnis.com): Bank Indonesia menyakini kenaikan bunga BI rate tidak akan mengganggu aktivitas perekonomian terutama sektor riil, yang selama ini dinilai rentan terhadap kenaikan suku bunga dan gejolak inflasi.

Bank sentral hari ini telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 9,0%.

Gubernur Bank Indonesia Boediono mengatakan indikator perekonomian Indonesia masih positif, terutama ditopang oleh kinerja perbankan yang meningkat cukup signifikan pada semester pertama tahun ini.

“Berbagai indikator menunjukkan permintaan dalam negeri masih cukup kuat, ketahanan industri perbankan masih terjaga dan didukung fungsi intermediasi yang baik, penjualan kendaraan bermotor dan semen masih cukup baik,” ujarnya di Jakarta, hari ini.

Menurut dia, perekonomian Indonesia pada� 2008 diperkirakan masih akan tumbuh baik ditopang pertumbuhan ekspor, pengeluaran konsumsi masyarakat dan belanja pemerintah yang cukup tinggi.

“Permintaan dalam negeri juga ditopang oleh meningkatnya belanja daerah dan telah dimulainya tahapan Pemilu 2009,” paparnya.(er)

Older Posts »

Categories